Untuk mengingat SMI, satu pejabat yang mencoba melakukn perubahan. Klo banyak yang bilang "ya sudah, ikut arus saja, tapi jangan sampe tenggelam". Maka beliau tidaklah termasuk hal tersebut karena konsep diri dan keyakinannya, itulah yang dilaksanakan dalam tindakan. Sebenarnya semua pejabat memiliki kata-kata yang jauh lebih bagus, namun tidak banyak yang sesuai dengan apa yang dilakukan.
Ini adalah satu dari banyak kata-kata yang terucap dari bibirnya, transkrip Menkeu di Ritz Carlton, setelah mengundurkan diri sebagai Menkeu.
.....saya diminta untuk bicara tentang kebijakan
publik dan etika publik. Dan itu adalah suatu topik yang barangkali merupakan
suatu pergulatan harian saya, semenjak hari pertama saya bersedia untuk
menerima jabatan sebagai menteri di kabinet di Republik Indonesia itu. Suatu
penerimaan jabatan yang saya lakukan dengan penuh kesadaran, dengan segala
upaya saya untuk memahami apa itu konsep jabatan publik. Pejabat negara yang
pada dalam dirinya, setiap hari adalah melakukan tindakan, membuat pernyataan,
membuat keputusan, yang semuanya adalah dimensinya untuk kepentingan publik.
Disitu letak pertama dan sangat sulit bagi orang
seperti saya karena saya tidak belajar, seperti anda semua, termasuk siapa tadi
yang menjadi MC, tentang filosofi. Namun saya dididik oleh keluarga untuk
memahami etika di dalam pemahaman seperti yang saya ketahui. Bahwa sebagai
pejabat publik, hari pertama saya harus mampu untuk membuat garis antara apa
yang disebut sebagai kepentingan publik dengan kepentingan pribadi saya dan
keluarga, atau kelompok.
Dan sebetulnya tidak harus menjadi muridnya Rocky
Gerung di filsafat UI untuk pintar mengenai itu. Karena kita belajar selama 30
tahun dibawah rezim presiden Soeharto. Dimana begitu acak hubungan, dan
acak-acakan hubungan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dan itu
merupakan modal awal saya untuk memahami konsekuensi menjadi pejabat publik
yang setiap hari harus membuat kebijakan publik dengan domain saya sebagai
makhluk, yang juga punya privacy atau kepentingan pribadi.
Di dalam ranah itulah kemudian dari hari pertama
dan sampai lebih dari 5 tahun saya bekerja untuk pemerintahan ini. Topik
mengenai apa itu kebijakan publik dan bagaimana kita harus, dari mulai
berpikir, merasakan, bersikap, dan membuat keputusan menjadi sangat penting.
Tentu saya tidak perlu harus mengulangi, karena itu menyangkut, yang disebut,
tujuan konstitusi, yaitu kepentingan masyarakat banyak. Yaitu mencapai
kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.
Jadi kebijakan pubik dibuat tujuannya adalah
untuk melayani masyarakat, Kebijakan publik dibuat melalui dan oleh kekuasaan.
Karena dia dibuat oleh institusi publik yang eksis karena dia merupakan produk
dari suatu proses politik dan dia memiliki kekuasaan untuk mengeluarkannya.
Disitulah letak bersinggungan, apa yang disebut sebagai ingridient utama dari
kebijakan publik, yaitu unsur kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat mudah menggelincirkan
kita.
Kekuasaan selalu cenderung untuk corrupt. Tanpa
adanya pengendalian dan sistim pengawasan, saya yakin kekuasaan itu pasti
corrupt. Itu sudah dikenal oleh kita semua. Namun pada saat anda berdiri
sebagai pejabat publik, memiliki kekuasan dan kekuasan itu sudah dipastikan
akan membuat kita corrupt, maka pertanyaan 'kalau saya mau menjadi pejabat
publik dan tidak ingin corrupt, apa yang harus saya lakukan?'
Oleh karena itu, di dalam proses-proses yang
dilalui atau saya lalui, jadi ini lebih saya cerita daripada kuliah. Dari hari
pertama, karena begitu khawatirnya, tapi juga pada saat yang sama punya
perasaan anxiety untuk menjalankan kekuasaan, namun saya tidak ingin
tergelincir kepada korupsi, maka pada hari pertama anda masuk kantor, anda
bertanya dulu kepada sistem pengawas internal anda dan staff anda. Apalagi waktu
itu jabatan dari Bappenas menjadi Menteri Keuangan. Dan saya sadar sesadar
sadarnya bahwa kewenangan dan kekuasaan Kementrian Keuangan atau Menteri
Keuangan sungguh sangat besar. Bahkan pada saat saya tidak berpikir corrupt pun
orang sudah berpikir ngeres mengenai hal itu.
Bayangkan, seseorang harus mengelola suatu
resources yang omsetnya tiap tahun sekitar, mulai dari saya mulai dari 400
triliun sampai sekarang diatas 1000 triliun, itu omset. Total asetnya mendekati
3000 triliun lebih.(batuk2) Saya lihat (ehem!) banyak sekali (ehem lagi) kalau
bicara uang terus langsung.... (ada air putih langsung datang diiringi ketawa
hadirin). Saya sudah melihat banyak sekali apa yang disebut tata kelola atau governance.
pada saat seseorang memegang suatu kewenangan dimana melibatkan uang yang
begitu banyak. Tidak mudah mencari orang yang tidak tergiur, apalagi
terpeleset, sehingga tergoda bahwa apa yang dia kelola menjadi seoalh-olah
menjadi barang atau aset miliknya sendiri.
Dan disitulah hal-hal yang sangat nyata mengenai
bagaimana kita harus membuat garis pembatas yang sangat disiplin. Disiplin pada
diri kita sendiri dan dalam, bahkan, pikiran kita dan perasaan kita untuk
menjalankan tugas itu secara dingin, rasional, dengan penuh perhitungan dan
tidak membolehkan perasaan ataupun godaan apapun untuk, bahkan berpikir untuk
meng-abusenya. Barangkali itu istilah yang disebut teknokratis. Tapi saya sih
menganggap bahwa juga orang yang katanya berasal dari akademik dan disebut
tekhnokrat tapi ternyata 'bau'nya tidak seperti itu. Tingkahnya apalagi
lebih-lebih. Jadi saya biasanya tidak mengklasifikasikan berdasarkan label.
Tapi berdasarkan genuine product nya dia hasilnya apa, tingkah laku yang esensial.
Dan bahkan dengan kewenangan dan kemampuannya dia
pun bisa menyembunyikan itu. Karena dengan kewenangan yang besar, dia juga
sebetulnya bisa membeli sistem. Dia bisa menciptakan network. Dia bisa
menciptakan pengaruh. Dan pengaruh itu bisa menguntungkan bagi dirinya sendiri
atau kelompoknya. Godaan itulah yang sebetulnya kita selalu ingin bendung.
Karena begitu anda tergelincir pada satu hal, maka tidak akan pernah berhenti. Namun,
meskipun kita mencoba untuk menegakkan aturan, membuat rambu-rambu, dengan
menegakkan pengawasan internal dan eksternal, sering bahwa pengawasan itu pun
masih bisa dilewati. Disinilah kemudian muncul, apa yang disebut unsur etika.
Karena etika menempel dalam diri kita sendiri. Di dalam cara kita melihat
apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, apakah sesuatu itu menghianati
atau tidak menghianati kepentingan publik yang harus kita layani. Apakah kita
punya keyakinan bahwa kita tidak sedang menghianati kebenaran. Etika itu ada di
dalam diri kita.
Dan kemudian kalau kita bicara tentang total,
atau di dalam bahasa ekonomi yang keren namanya agregat, setiap kepala kita
dijumlahkan menjadi etika yang jumlahnya agregat atau publik, pertanyaannya
adalah apakah di dalam domain publik ini setiap etika pribadi kita bisa
dijumlahkan dan menghasilkan barang publik yang kita inginkan, yaitu suatu
rambu-rambu norma yang mengatur dan memberikan guidance kepada kita.
Saya termasuk yang sungguh sangat merasakan
penderitaan selama menjadi menteri. Karena itu tidak terjadi. Waktu saya
menjadi menteri, sering saya harus berdiri atau duduk berjam-jam di DPR. Disitu
anggota DPR bertanya banyak hal. Kadang-kadang bernada pura-pura
sungguh-sungguh. Mereka mengkritik begitu keras. Tapi kemudian mereka dengan
tenangnya mengatakan 'Ini adalah panggung politik bu.'
Waktu saya dulu masuk menteri keuangan pertama
saya masih punya dua Dirjen yang sangat terkenal, Dirjen Pajak dan Dirjen Bea
Cukai saya. Mereka sangat powerfull. Karena pengaruhnya, dan respectability
karena saya tidak tahu karena kepada angota dewan sangat luar biasa. Dan waktu
saya ditanya, mulainya dari...? Segala macem. Setiap keputusan, statemen saya
dan yang lain-lain selalu ditanya dengan sangat keras. Saya tadinya cukup naif mengatakan,
"Oh ini ongkos demokrasi yang harus dibayar." Dan saya legowo saja
dengan tenang menulis pertanyaan-pertanyaan mereka.
Waktu sudah ditulis mereka keluar ruangan, nggak
pernah peduli mau dijawab atau tidak. Kemudian saya dinasehati oleh Dirjen saya
itu, "Ibu tidak usah dimasukkan ke hati bu. Hal seperti itu hanya satu
episod drama saja. " Tapi kemudian itu menimbulkan satu pergolakan batin
orang seperti saya. Karena saya kemudian bertanya. Tadi dikaitkan dengan etika
publik, kalau orang bisa secara terus menerus berpura-pura, dan media memuat,
dan tidak ada satu kelompokpun mengatakan bahwa itu kepura-puraan maka kita
bertanya, apalagi? siapa lagi yang akan menjadi guidance? yang mengingatkan
kita dengan, apa yang disebut, norma kepantasan. Dan itu sungguh berat. Karena
saya terus mengatakan kalau saya menjadi pejabat publik, ongkos untuk menjadi
pejabat publik, pertama, kalau saya tidak corrupt, jelas saya legowo nggak ada masalah.
Tapi yang kedua saya menjadi khawatir saya akan split personality. Waktu di
dewan saya menjadi personality yang lain, nanti di kantor saya akan menjadi
lain lagi, waktu di rumah saya lain lagi. Untung suami dan anak-anak saya tidak
pernah bingung yang mana saya waktu itu. Dan itu sesuatu yang sangat sulit
untuk seorang seperti saya untuk harus berubah-ubah. Kalau pagi lain nilainya
dengan sore, dan sore lain dengan malam. Malam lain lagi dengan tengah malam.
Kan itu sesuatu yang sangat sulit untuk diterima. Itu ongkos yang paling mahal
bagi seorang pejabat publik yang harus menjalankan dan ingin menjalankan secara
konsisten. Nah, oleh karena itu, didalam konteks inilah kita kan bicara
mengenai kebijakan publik, etika publik yang seharusnya menjadi landasan,
arahan bagi bagaimana kita memproduksi suatu tindakan, keputusan, yang itu
adalah untuk urusan rakyat. Yaitu kesejahteraan rakyat, mengurangi penderitaan
mereka, menaikkan suasana atau situasi yang baik di masyarakat, namun di sisi
lain kita harus berhadapan dengan konteks kekuasaan dan struktur politik.
Dimana buat mereka norma dan etika itu nampaknya bisa tidak hanya double
standrart, triple standart.
Dan bahkan kalau kita bicara tentang istilah dan
konsep mengenai konflik kepentingan, saya betul-betul terpana. Waktu saya
menjadi executive director di IMF, pertama kali saya mengenal apa yang disebut
birokrat dari negara maju. HAri pertama saya diminta untuk melihat dan
tandatangan mengenai etika sebagai seorang executive director, do dan don'ts.
Disitu juga disebutkan mengenai konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu
institusi yang memprodusir suatu policy publik, untuk level internasional,
mengharuskan setiap elemen, orang yang terlibat di dalam proses politik atau
proses kebijakan itu harus menanggalkan konflik kepentingannya. Dan kalau kita
ragu kita boleh tanya, apakah kalau saya melakukan ini atau menjabat yang ini apakah
masuk dalam domain konflik kepentingan. Dan mereka memberikan counsel untuk
kita untuk bisa membuat keputusan yang baik.
.....
(standing applause)
No comments:
Post a Comment